
Application of Climate Index for Agricultural Insurance as Efforts to Manage Climate Risks
Saif Akmal
Jurusan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Universitas Bengkulu
Email: saifakmal1999@gmail.com
ABSTRACT
The agricultural sector plays an important role in food security and contributes greatly to increasing food production capacity for community needs. Events due to climate variability that are uncertain, such as drought, make climate a determining factor in the level of production for the agricultural food crop sector. The purpose of this literature review is to discuss how the climate has a significant impact on agriculture and the implementation of agricultural insurance using a climate index. The results of the literature review show that Climate Index Insurance has the opportunity to be applied and developed more broadly in Indonesia.
Keywords: agricultural insurance, climate, climate index
ABSTRAK
Sektor pertanian berperan penting terhadap ketahanan pangan dan berkontribusi besar dalam peningkatan kapasitas produksi pangan untuk kebutuhan masyarakat. Kejadian akibat variabilitas iklim yang tidak tentu kedatangannya seperti kekeringan menjadikan iklim sebagai salah satu faktor penentu tingkat produksi bagi sektor pertanian tanaman pangan. Tujuan telaah pustaka ini membahas bagaimana iklim memberikan dampak signifikan terhadap pertanian serta implementasi asuransi pertanian dengan menggunakan indeks iklim. Hasil telaah pustaka menunjukkan bahwa Asuransi Indeks Iklim berpeluang untuk diaplikasikan dan dikembangkan lebih luas di Indonesia.
Kata kunci: asuransi pertanian, iklim, indeks iklim
PENDAHULUAN
Sebagai negara agraris, sektor pertanian di Indonesia masih menjadi tumpuan utama dan memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi (Awokuse and Xie, 2014). Sektor pertanian berperan penting terhadap ketahanan pangan sebagai sumber mata pencaharian petani sekaligus berkontribusi besar dalam peningkatan kapasitas produksi pangan untuk kebutuhan masyarakat (Sumaryanto, 2009).
Pertanian memiliki kerentanan tinggi terhadap variabilitas dan perubahan iklim (Wiréhn dkk., 2015). Iklim merupakan kebiasaan cuaca yang terjadi di suatu tempat atau daerah. Sistem iklim bumi membentuk sistem interaksi kompleks antara atmosfer, permukaan tanah, lautan dan badan air lainnya, serta makhluk hidup (Aldrian, 2011). Perubahan iklim dan kerusakan alam mengakibatkan kenaikan frekuensi banjir dan kekeringan yang berdampak pada produksi tanaman pangan. Hal ini hendaknya menjadi peringatan bagi para pengambil keputusan untuk melindungi kepentingan petani (Pasaribu, 2010).
Saat ini sudah banyak berkembang beberapa tipe asuransi pertanian berdasarkan batasan klaimnya, seperti asuransi berbasis gagal panen, berbasis hasil, berbasis keuntungan (revenue) dan yang terbaru adalah berbasis indeks iklim (climate index insurance). Asuransi indeks iklim menjadikan basis pembayaran klaim berdasar indeks iklim yang disusun berdasarkan hubungan gagal panen dengan perubahan kondisi iklim (Boer, 2012). Diharapkan asuransi pertanian berbasis indeks iklim dapat menjadi salah satu opsi adaptasi bagi petani dalam menghadapi dampak perubahan iklim serta menjadi strategi perlindungan dan pemberdayaan petani.
Pengaruh Iklim terhadap Tanaman Pangan
Surmaini dan Faqih (2016) telah melakukan kajian mengenai kejadian iklim ekstrem dan dampaknya terhadap tanaman pangan di Indonesia. Kejadian iklim ekstrem dapat dipengaruhi oleh faktor dari berbagai sirkulasi yang memengaruhi iklim di wilayah Indonesia. Sirkulasi yang dominan pengaruhnya terhadap iklim di Indonesia diantaranya adalah ENSO (El-Nino Southern Oscillation), dan IOD (Indian Ocean Dipole). ENSO sangat dominan pada wilayah bagian selatan dan timur Indonesia seperti Jawa, Sulawesi, sebagian Kalimantan dan Papua sedangkan IOD lebih dominan di wilayah bagian barat. Dampak yang paling sering terjadi akibat kejadian iklim ekstrem pada sektor pertanian adalah tanaman terkena dan puso akibat kekeringan dan banjir. Dampak kekeringan jauh lebih luas daripada banjir. Keduanya menyebabkan luas panen dan produksi mengalami penurunan, terutama bagi tanaman padi. Kekeringan dapat diketahui dengan mengetahui seberapa banyak ketersediaan air tanah di suatu wilayah. Curah hujan dan ketersediaan air tanah merupakan dua faktor utama yang saling berkaitan dalam memenuhi kebutuhan air tanaman.
Sumastuti dan Pradono (2016) melakukan penelitian mengenai dampak perubahan iklim pada tanaman padi. Tujuan dari penelitian tersebut adalah pemetaan daerah rawan perubahan iklim untuk tanaman padi di Provinsi Jawa Tengah. Hasil menunjukkan bahwa dampak dari perubahan iklim pada tanaman padi secara langsung yaitu banjir, kekeringan, dan serangan OPT. Adapun dampak secara tidak langsung diantaranya adalah penurunan kualitas, penurunan produksi, dan gagal panen. Wilayah yang sangat rawan kekeringan pada tanaman padi di Jawa Tengah adalah Kabupaten Cilacap, Grobogan, Semarang, Pemalang, Pati, Sragen, Rembang dan Kota Semarang. Sedangkan untuk wilayah rawan kekeringan diantaranya Kabupaten Brebes, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Kendal, Wonogiri, Karanganyar dan Blora.
Penelitian mengenai respon tanaman padi terhadap kekeringan telah dilakukan oleh Sujinah dan Ali Jamil (2016) dengan menganalisis mekanisme respon tanaman terhadap cekaman kekeringan (drought stress) melalui respon fisiologis, morfologis, dan pertumbuhannya. Kekeringan dalam bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang sedang dibudidayakan dengan tanaman padi, jagung, kedelai, dan tanaman lainnya. Kekeringan dapat diketahui dengan mengetahui seberapa banyak ketersediaan air tanah di suatu wilayah. Curah hujan dan ketersediaan air tanah merupakan dua faktor utama yang saling berkaitan dalam memenuhi kebutuhan air tanaman. Kekeringan dapat mempengaruhi fisiologis tumbuhan padi yang dapat dilihat dari penurunan laju fotosintesis pada semua tahap pertumbuhan. Pada morfologi tumbuhan padi, kekeringan dapat mempengaruhi ukuran tajuk seperti jumlah anakan sedikit, pembungaan tertunda, dan pengurangan jumlah anakan produktif. Respon pertumbuhan dan hasil juga terpengaruh oleh kekeringan yang mana akan mempengaruhi tinggi tanaman, umur berbunga, dan hasil padi.
Selanjutnya, Nuryadi dan Agustiarini (2018) melakukan penelitian sebaran spasial daerah rawan kekeringan untuk tanaman padi di Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan metode pembobotan berdasarkan penjumlahan bobot tipe iklim Oldeman dan air tanah tersedia. Analisis tingkat kekeringan menggunakan pembobotan tipe iklim Oldeman dan ketersediaan air tanah pada setiap pos hujan. Pada pembuatan informasi ketersediaan air tanah, intensitas curah hujan sangat diperlukan terutama pada lahan pertanian yang memanfaatkan hujan sepenuhnya sebagai sumber air (tadah hujan). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah lebih banyak di bulan Februari, Maret, dan April, sedangkan pada bulan Agustus, September dan Oktober ketersediaan air tanah termasuk pada kategori terendah. Wilayah dengan ketersediaan air yang lebih besar berada di bagian barat Banyuwangi. Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuwangi mengalami tingkat kekeringan yang aman pada Januari, Febuari, Maret dan April untuk lahan padi.
Perlindungan Petani Melalui Asuransi Pertanian
Seiring dengan meningkatnya kejadian iklim ekstrem yang mengganggu luas tanam dan produktivitas padi, maka pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.19 Tahun 2013 tentang “Perlindungan dan Pemberdayaan Petani” untuk mendukung serta menunjang produktivitas kegiatan sistem usaha tani sesuai dengan visi misi yang telah ditetapkan. Dalam Undang-Undang tersebut pada Bab 1 Pasal 1, Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim. Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi, dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan.
Aturan mengenai asuransi pertanian dimuat dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2013 pasal 7 ayat 2 bagian (g). Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa salah satu strategi perlindungan atau proteksi formal untuk petani adalah dengan asuransi pertanian. Asuransi pertanian adalah perjanjian antara petani dengan pihak asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko usaha tani (Estiningtyas, 2015). Apabila petani ingin mendapat perlindungan dari risiko, maka polis asuransi pertanian seharga tertentu dapat dibeli dengan pembayaran berjangka yang disebut premi. Apabila pemegang polis terkena bencana yang disepakati, maka petani berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan nilai pertangungan yang disepakati dalam polis yang nilainya jauh lebih besar dari nilai premi yang dibayarkan. Namun demikian, apabila kegagalan panen bukan disebabkan oleh bencana yang disepakati di dalam polis, maka pembayaran nilai pertangungan tidak dapat dilakukan dan uang premi yang dibayarkan tidak dapat diambil kembali sesuai perjanjian dengan pihak asuransi (Boer, 2012).
Berdasarkan batasan klaimnya, praktik asuransi pertanian memiliki beberapa jenis untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Perdinan (2014) menyebutkan beberapa praktik asuransi pertanian diantaranya adalah berdasarkan gagal panen (failure), hasil (yield), keuntungan (revenue), hydrological insurance dan yang terbaru adalah berdasarkan indeks iklim/cuaca. Menurut Pasaribu (2013) diacu dalam Estiningtyas (2015) model asuransi lain yang diyakini dapat mengurangi masalah dalam hal kerugian adalah sistem asuransi berdasar indeks iklim dan berdasar penginderaan satelit.
Asuransi Pertanian berbasis Indeks Iklim
Indeks asuransi adalah bentuk asuransi yang mekanisme pembayaran ganti rugi didasarkan pada nilai-nilai yang diperoleh dari suatu indeks. Indeks tersebut berfungsi sebagai proksi untuk penilaian kerugian. Jumlah tertanggung didasarkan pada biaya produksi sesuai yang disepakati basis nilai yang ditetapkan dalam kebijakan di muka, dan pembayarannya adalah dibuat berdasarkan skala pra-ditetapkan yang ditetapkan dalam polis asuransi (World Bank, 2011). Estiningtyas (2015) menjelaskan bahwaAsuransi Indeks Iklim merupakan alat manajemen risiko iklim yang relatif baru berbasis indeks iklim. Sistem ini memberikan pembayaran kepada pemegang polis ketika terjadi kondisi cuaca/iklim yang tidak terduga. Asuransi iklim mengasuransikan indeks iklim, bukan tanaman. Biaya pengelolaan risiko iklim didasarkan pada jumlah defisit curah hujan yang diperlukan untuk beberapa musim tanam. Pembayaran dilakukan sesuai dengan apakah indeks iklim tertentu tercapai selama periode tanam tanaman yang diasuransikan.
Untuk menghitung indeks iklim, maka beberapa parameter harus ditentukan, yaitu: 1) periode asuransi (window); 2) batasan “cap” untuk menjadi curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall); dan 3) periode ulang/ peluang kejadian kekeringan. Dari analisis tersebut, maka diperoleh nilai trigger dan exit indeks iklim. Nilai trigger merupakan nilai pemicu dilakukannya klaim pembayaran namun belum secara penuh. Apabila nilai indeks lebih dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Nilai exit menjadi batas pembayaran klaim dilakukan secara penuh.
Gambar 1. Skema Pembayaran Asuransi Indeks Iklim
Selain itu, asuransi indeks iklim memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1) tidak ada moral hazard, tidak tergantung pada perilaku individu; 2) tidak ada anti seleksi (adverse selection) dalam konteks subsidi silang karena didasarkan pada banyaknya ketersediaan informasi (seperti data iklim runut waktu). Hal ini membantu menghindari situasi dimana hanya orang-orang dengan risiko tinggi saja (yang memiliki pengetahuan lebih tentang risiko mereka yang mengasuransikan); 3) biaya administrasi rendah; 4) struktur transparan; dan 5) fleksibel, dapat digabungkan dengan fasilitas lain.
Penerapan asuransi indeks iklim memerlukan beberapa tahapan sebelum dapat dilaksanakan. Berdasar hasil penelitian Martirez (2009) diacu dalam Estiningtyas (2015), tahapan yang dilakukan antara lain: 1) desain produk, yang meliputi interview petani dan pemangku kepentingan, pengadaan data, desain indeks, uji coba polis serta dokumentasi pembelajaran; 2) pemasaran produk, yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen, dan pembelian polis; 3) periode asuransi, yaitu melakukan monitoring indeks iklim; 4) Perhitungan dan pembayaran klaim. Tahap desain produk membutuhkan waktu sekitar enam bulan, pemasaran produk tiga bulan, periode asuransi empat bulan dan klaim sekitar satu bulan
Sugiarto, dkk. (2017) telah melakukan penelitian mengenai asuransi indeks iklim menggunakan parameter curah hujan. Analisis indeks iklim dilakukan dengan metode Historical Burn Analysis dengan wilayah penelitian di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Penelitian tersebut mengidentifikasi kejadian kekeringan dan menganalisis indeks iklim berdasarkan potensi kekeringan di Kabupaten Pacitan menggunakan klasifikasi iklim Oldeman. Asuransi tersebut penting untuk dapat dikembangkan terutama pada daerah kering yang memiliki lahan pertanian. Penelitian tersebut menghasilkan nilai indeks terbesar dengan nilai exit sebesar 89 mm dan trigger sebesar 116 mm di kecamatan Kebonagung sedangkan kecamatan Pringkulu memiliki nilai indeks paling rendah dengan nilai exit dan trigger sebesar 18 mm dan 61 mm. Potensi pengembangan asuransi indeks iklim di Kabupaten Pacitan antara lain karena Kabupaten Pacitan merupakan salah satu wilayah yang rawan terhadap bencana kekeringan, maka terdapat hubungan erat antara curah hujan dan produksi tanaman di lokasi penelitian serta sektor pertanian yang merupakan mayoritas lapangan usaha di Kabupaten Pacitan.
Penelitian dengan metode yang sama juga dilakukan oleh Wati dkk., (2016). Penelitian tersebut mengkaji perhitungan indeks iklim di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Lokasi spesifik untuk analisis indeks iklim yaitu Kecamatan gegesik, Kecamatan Susukan, Kecamatan Klangenan, dan Kecamatan Babakan. Masing masing kecamatan diwakili oleh satu pos hujan. Data yang digunakan adalah data curah hujan di 4 kecamatan terpilih periode 1993 -2014 dengan data kekeringan dan puso padi 2005 – 2014. Diperoleh hasil nilai trigger dan exit di Kecamatan Gegesik sebesar 69 mm dan 23 mm. Kecamatan Susukan dengan trigger dan exit sebesar 136 mm dan 25 mm, Kecamatan Klangenan sebesar 136 mm dan 20 mm, dan Kecamatan Babakan sebesar 59 mm dan 19 mm.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil studi pustaka, dapat diketahui bahwa iklim sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan hingga produksi suatu tanaman. Iklim dan variabilitasnya dapat juga menjadi sebuah ancaman. Sektor pertanian terutama tanaman pangan menjadi krusial untuk dilindungi karena berdampak langsung terhadap ekonomi dan kemakmuran masyarakat. Bentuk usaha untuk memproteksi kerugian atas dampak iklim sudah mulai diterapkan di beberapa daerah dengan menggunakan asuransi pertanian berbasis indeks iklim. Dalam sistem asuransi iklim, yang diasuransikan adalah indeks iklimnya bukan tanamannya. Sistem ini memberikan pembayaran pada
pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (indeks iklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Indeks iklim yang diasuransikan berlaku spesifik menyesuaikan dengan kondisi wilayah yang bersangkutan. Sosialisasi baik di tingkat pusat maupun daerah perlu terus dilakukan untuk lebih mengenal dan memahami tentang asuransi indeks iklim agar dapat berkembang luas.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E. dan Budiman, M.K., 2011. Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Anonim, 2013, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2013.
Awokuse, T.O., Xie, R., 2014. Does Agriculture Really Matter for Economic Growth in Developing Countries? Canadian Journal of Agricultural Economics/Revue canadienne d’agroeconomie 63, 77–99.
Boer, R., 2012. Asuransi iklim sebagai jaminan perlindungan ketahanan petani terhadap perubahan iklim. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 10, hlm.20-21.
Estiningtyas, W., 2015. Asuransi Pertanian Berbasis Indeks Iklim: Opsi Pemberdayaan dan Perlindungan Petani Terhadap Risiko Iklim. Jurnal Sumberdaya Lahan vol.9(1) hlm 51-64
Martirez. 2009. Microensure, Helping the Poor Weather Life’s Storm. Bahan Tayangan.
Nuryadi, N. dan Agustiarini, S., 2018. Analisis Rawan Kekeringan Lahan Padi Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 5(2), hlm.29-36.
Pasaribu, S.M., Lokollo, E.M., Anugrah, I.S., Agustin, N.K., Tarigan, H., Hestina, J. dan Supriatna, Y., 2010. Pengembangan Asuransi Usahatani Padi untuk Menanggulangi Risiko Kerugian 75% Akibat Banjir, Kekeringan dan Hama Penyakit. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Perdinan. 2014. Climate Change and Crop Insurance: Application of Crop Model. Workshop on Capacity Development on Downscaling Climate Change Projection and Index Base Agricultural Insurance. Sentul-Bogor, November 6-7.
Sujinah dan Jamil, A., 2016, Mekanisme Respon Tanaman Padi terhadap Cekaman Kekeringan dan Varietas Toleran, Iptek Tanaman Pangan, Vol. 11, No. 1.
Sugiarto, Y., Estiningtyas, W., dan Dewi, W. S., 2017, Analisis Indeks Iklim dengan Metode Historical Burn Analysis untuk Adaptasi Perubahan Iklim (Studi Kasus di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur), Jurnal Agromet, Vol. 31, No. 1, hlm. 1-10.
Sumaryanto, 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah Hari Pangan Sedunia. Jakarta
Sumastuti, E. dan Pradono, N. S., 2016, Dampak Perubahan Iklim pada Tanaman Padi di Jawa Tengah, Journal of Economic Education, Vol. 5, No. 1, hlm. 31-38.
Surmaini, E. dan Faqih, A., 2016. Kejadian iklim ekstrem dan dampaknya terhadap pertanian tanaman pangan di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan, 10(2).
Wati, T., Estiningtyas, W. dan Fatkhuroyan, F., 2017. Analisis Indeks Iklim Untuk Asuransi Pertanian Tanaman Padi Di Kabupaten Cirebon Dalam Rangka Adaptasi Perubahan Iklim. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 17(2).
Wiréhn, L., Danielsson, Å. dan Neset, T.S.S., 2015. Assessment of composite index methods for agricultural vulnerability to climate change. Journal of environmental management, 156, hlm.70-80.
World Bank, 2011. Weather Index Insurance for Agriculture.