SISTEM BUDIDAYA KONSERVASI DI KAWASAN ZONA PENYANGGA SEBAGAI  SALAH SATU UPAYA MELINDUNGI KAWASAN KONSERVASI DARI TEKANAN LUAR (CONSERVATION CULTIVATION SYSTEM IN THE BUFFER ZONE AS AN EFFORT TO PROTECT CONSERVATION AREAS FROM EXTERNAL PRESSURE)

SISTEM BUDIDAYA KONSERVASI DI KAWASAN ZONA PENYANGGA SEBAGAI  SALAH SATU UPAYA MELINDUNGI KAWASAN KONSERVASI DARI TEKANAN LUAR (CONSERVATION CULTIVATION SYSTEM IN THE BUFFER ZONE AS AN EFFORT TO PROTECT CONSERVATION AREAS FROM EXTERNAL PRESSURE)

Oleh: Afreda Rotua Purba

ABSTRACT

Nature conservation efforts in Bengkulu Province are faced with many problems related to forest clearing. Kerinci Seblat National Park is inseparable from the above problems. In connection with this, efforts to reduce population pressure on the conservation area are still being carried out. One way is to implement a conservation cultivation system in the buffer zone area. Where the buffer zone is an area that serves to accommodate the needs of the people living around the forest area while preventing forest damage. With the existence of this buffer zone, it is hoped that residents will not enter the National Park area. All of its needs will be supplied by the buffer zone, so that the integrity of the National Park can be maintained. In order to reduce this pressure, a land management system is also needed which, in addition to being able to meet the needs of the community around the conservation area, can also provide for these needs on an ongoing basis. How to implement a conservation-based farming system. This means that with this system the condition of the land being worked on will be maintained so that it does not experience land degradation. Land that has experienced degradation and decreased quality will trigger communities around forest areas to open new lands that are much more productive and this of course threatens the existing conservation areas within them. For this reason, a conservative agricultural system is needed so that it can meet the needs of the community and maintain the conservation function of the National Park. The conservation cultivation systems include alley cultivation systems, crop rotation systems, planting systems following contour lines and fallow systems.

Keywords: buffer zone, Kerinci Seblat National Park, alley cultivation system, crop rotation system, contour planting system, fallow system.

ABSTRAK

Upaya pelestarian alam di Propinsi Bengkulu dihadapkan pada banyak permasalahan yang berkaitan dengan pembukaan hutan. Taman Nasional Kerinci Seblat tidak terlepas dari masalah di atas. Sehubungan dengan hal tersebut usaha untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan pelestarian tersebut masih terus dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem budidaya konservasi di kawasan zona penyangga. Dimana zona penyangga adalah suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung kebutuhan hidup penduduk sekitar kawasan hutan sekaligus mencegah kerusakan hutan.  Dengan adanya kawasan penyangga tersebut, diharapkan penduduk tidak akan memasuki wilayah Taman Nasional. Segala kebutuhannya akan disuplay oleh kawasan penyanggga, sehingga keutuhan Taman Nasional dapat terjaga. Untuk mengurangi tekanan tersebut diperlukan juga suatu sistem pengelolaan tanah yang selain dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar kawasan pelestarian juga dapat menyediakan kebutuhan tersebut secara berkesinambungan. Cara menerapkan sistem pertanian yang berbasis konservasi. Artinya bahwa dengan sistem tersebut kondisi tanah yang di garap akan tetap terjaga kondisinya sehingga tidak mengalami degradasi lahan. Lahan yang mengalami degradasi dan penurunan kualitas akan memicu masyarakat sekitar kawasan hutan untuk membuka lahan baru yang jauh lebih produktif dan hal ini tentu saja mengancam kawasan pelestarian yang ada di dalamnya. Untuk itu diperlukan sistem pertanian yang koservatif sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga fungsi kelesatarian Taman Nasional. Sistem budidaya konservasi tersebut antara lain adalah, Sistem budidaya lorong, Sistem pergiliran tanaman, Sistem penanaman mengikuti garis kontur dan sistem bera.

Kata kunci:  zona penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat, sistem budidaya lorong, sistem pergiliran tanaman, sistem penanaman mengikuti daris kontur, sistem bera.

PENDAHULUAN

Upaya pelestarian hutan alam di Propinsi Bengkulu di hadapkan pada permasalahan yang berkaitan dengan masalah pembukaan hutan. Terjadinya upaya perluasan areal perkebunan, pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya yang merupakan kendala umum yang ditemui di lapangan.

Taman Nasional kerinci Seblat dengan luas sekitar 1.386.000 Ha merupakan salah satu kawasan alam terbesar di Indonesia yang juga tidak terlepas dari permasalahan tersebut di atas. Terjadinya usaha peningkatan hasil pertanian melalui perluasan lahan hingga mencapai wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan salah satu gangguan yang sulit diatasi.

Potensi ekosistem dan nilai jasa lingkungan Taman Nasional dapat mengalami degradasi, akibat pola pemanfatan hutan dan lahan diluar kawasan yang tidak terkendali. Dimana Pengelolaan daerah penyangga yang dapat mempertahankan fungsi ekosistemnya dan kualitasnya diharapkan nantinya akan mampu membatasi  aktifitas  manusia  hingga ke dalam  kawasan lindung.  Dari hasil penafsiran citra satelit yang dilakukan ICDP dan Balai TNKS terlihat adanya penguranganpenutupan kawasan hutan dari tahun 1985 sampai tahun 2002 seluas 26.044 ha dan kerusakan tersebutsampai saat ini masih terus berlangsung. Dimana untuk Provinsi Bengkulu yang wilayahnya meliputi Kabupaten Mukomuko, Lebong, Rejanglebong dan Bengkulu Utara dengan luasan mencapai 340.000 hektare berdasarkan foto udara Citra Satelit mencapai 20.000 hektare, sedangkan berdasarkan pantauan langsung petugas Polhut TNKS yang melakukan patroli lapangan jumlah kerusakan terdata seluas 5.000 sampai 6.000 hektare. (Sinar harapan, 2015).  Kerusakan TNKS terutama disebabkan oleh aktifitas illegal logging dan perambahan hutan yang masihtinggi. Di samping itu, juga disebabkan oleh kebakaran hutan pencurian hasil hutan bukan kayu, perburuanliar, penambangan liar dll.Dampak dari kerusakan TNKS secara langsung mulai dirasakan dengan seringnya banjir dan longsor disekitar kawasan yang menimbulkan kerugian material dan moril yang sangat besar terhadap masyarakatsekitar, terganggunya aktifitas ekonomi misalnya di sektor pertanian (sawah tergenang), transportasi (baikair maupun darat) dan sektor lainnya.

Untuk itu diperlukan suatu model pengelolaan kawasan diluar Taman Nasional secara terpadu dengan aturan yang mendukung kebijakan pengelolaan Taman Nasional. Pengelolaan kawasan penyangga yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar kawasan hutan tersebut harus mencakup aspek konservasinya. Sehingga hal ini dapat mengurangi tekanan terhadap keberadaan zona pelestarian yang ada di dalamnya.

TAMAN NASIONAL

Taman Nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dwi Putro Sugiharto, 2012). Wiratno (1994) menyatakan bahwa pada prinsipnya Taman Nasional adalah kawasan konservasi yang mencerminkan keterpaduan kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan.

Salah satu Taman Nasional terbesar di Indonesia adalah Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu dengan luas sekitar 1.386.000 Ha. Berdasarkan Pembagian wilayah propinsi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat masuk dalam empat propinsi yaitu Jambi seluas 422.190 Ha, Sumatera Barat seluas 353.780 Ha, Bengkulu seluas 310.910 Ha dan Sumatera Selatan seluas 281.120 Ha. Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terletak pada bagian tengah rangkaian pengunungan bukit barisan dengan topografi yang didominasi oleh kelas kelerengan >60% pada sebagian besar kawasannya ( kurang lebih 70%) dari luas kawasan. Pada kawasan ini terdapat hulu-hulu sungai dari aliran sungai (DAS) Batanghari (Jambi), DAS Musi (Sumatera Selatan), DAS Ketahun (Bengkulu) dan DAS Indrapura (Sumbar). Jenis Tanah yang mendominasi adalah jenis tanah Podsolik dengan sifat fisik dan sifat tanah yang relatif kurang baik serta relatif mudah tererosi. 

Kondisi fisik kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang demikian menyebabkan kawasan tersebut sangat vital bagi kelangsungan aktifitas ekonomi di daerah sekitar dan di daerah bagian hilirnya yang mata pencaharian pokoknya adalah di sektor pertanian. Disamping itu kawasan ini juga berperan memelihara fungsi ekologis seperti menjaga stabilitas iklim, mencegah erosi, mengendalikan banjir, melestarikan biodiversitysarana penelitian dan pendidikan,wisata dan fungsi lainnya.

Dalam sistem Pengelolaannya Kawasan Nasional Kerinci Seblat di kelola dengan sistem zonasi. Taman Nasional dalm pengelolaannya di bagi dalam Zonasi yaitu sebagai berikut :

  1. Zona Inti, adalah bagian kawasan Taman Nasional yang mutlak di lindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusi.
  2. Zona Rimba, adalah bagian kawasan Taman Nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti
  3. Zona Pemanfaatan adalah bagian kawasan Taman Nasional yang dijadikan Pusat rekreasi dan kunjunga wisata.
  4. Zona Pemanfaatan khusus yaitu bagiab dari kawasan pelestarian yang karena kondisi lingkungannya dan potensinya oleh masyarakat telah dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang bersifat khusus dengan pengaturan yang bersifat khusus pula.

Penyusunan zona-zona tersebut dimaksudkan agar dapat membantu keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan manajemen pengelolaan kawasan.

ZONA PENYANGGA

Dalam pengelolaannya selain berdasarkan zonasi tersebut dikenal juga adanya kawasan penyangga. Kawasan penyangga merupakan suatu bagian yang penting yang memerlukan perhatian khusus sebagai pendukung keberadaan Taman Nasional.Menurut M Bismark dan Endang Karlina (2012) Kawasan Penyangga merupakan wilayah yang berada diluar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Juga merupakan kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas dan ekosistem taman nasional baik sebagai asset wisata alam, penyangga kawasan konservasi,  kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan obat-obatan.

Menurut Salim (1998) pembangunan zona penyangga  adalah salah satu hal mendesak yang dilakukan dalam pengembangan sebuah Taman Nasional, karena keberadaannya dimaksudkan untuk menampung kebutuhan hidup penduduk sekaligus mencegah kerusakan hutan. Selanjutnya Salim (1998) juga bahwa dengan adanya kawasan penyangga, diharapkan penduduk tidak akan memasuki wilayah Taman Nasional. Segala kebutuhannya akan di suplay oleh kawasan penyanggga, sehingga keutuhan Taman Nasional dapat terjaga. Selain itu juga  zona penyangga dapat berperan sebagai suatu kantong yang menyediakan berbagai bentuk lapangan kerja bagi penduduk desa-desa sekitar. Dimana bila kesejahteraan penduduk meningkat, kesempatan mereka masuk ke dalam Taman Nasional bisa terkurangi seminimal mungkin. Pemanfaatan lahan pada daerah penyangga berpengaruh  terhadap  kelestarian  kawasan lindung. Untuk itu diperlukan suatu sistem pengelolaan yang lestari, dimana dapat mencukupi kebutuhan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan tanpa meninggalkan aspek kelestariannya.

KONSERVASI TANAH DAN AIR

Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai  dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat  yang diperlukannya agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sifat fisika dan kimia tanah serta keadaan topografi lapangan menentukan kemampuan tanah untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan ( Halus Satriawan dan Zahrul Fuady, 2015).

Konservasi bertujuan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air, yang pada prinsipnya merupakn penggunaan air yang se-efisien mungkin, dan melakukan waktu aliran sehingga tidak perlu terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Sehingga setiap tindakan konservasi terhadap tanah juga merupakan tindakan konservasit terhadap air ( Halus Satriawan dan Zahrul Fuady, 2015).

Dalam usaha konservasi tanah dan air ada 3 (tiga) hal pendekatan yang dapat dilakukan yaitu metode vegetatif, metode mekanik dan metode kimia. Teknik Konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir-butir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian pupuk organikatau dnegan cara meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999).

Metode vegetatif merupakan metode yang menggunakan tanaman dan sisa-sisa tanaman yang bertujuan untuk melindungi tanah dari daya perusak butir-butir hujan, melindungi tanah dari aliran air di atas permukaan tanah, menurunkan kecepatan lairan dengan meningkatkan tekanan hidrolik pada saluran sehingga akan sangat mengurangi daya rusak dan abrasi aliran. Jika kecepatan dapat dikurangi, maka sedimen dapat diendapkan dan memperbaiki kapasitas infiltrasi dan penahanan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan.

SISTEM BUDIDAYA KONSERVASI

Hampir seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian. Kegiatan pertanian yang terus menerus jika tanpa disertai dengan usaha konservasi tanah dan air dapat mengakibatkan merosotnya tingkat kesuburan tanah tersebut, dimana hal ini disebabkan juga karena tingkat kemiringan tanah dan curah hujan yang tinggi. Untuk itu pemberian bahan organik pada tanah akan dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui penyediaan unsur hara tanah, memperbaiki struktur tanah, dan memperbaiki sifat bioligi tanah. Usaha konservasi lahan ini dapat ditempuh dengan teknik budidaya lorong (Kasiran, 2008). 

Budidaya lorong atau dikenal sebagai sistem pertanaman lorong merupakan salah satu bentuk wanatani yang memadukan praktek pengelolaan hutan tradisional dan proses daur ulang hara secara alarm ke dalam usaha tani yang intensif produktif dan berkelanjutan. Pelaksanaannya mengikuti lorong-lorong (tanaman pangan) yang masing-masing lorong dibatasi tanaman pagar/tegakan, pada umumnya tanaman yang tumbuh cepat (legum) (Nurhayti, dkk, 2008)

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa budidaya lorong dapat dikembangkan sebagai suatu sistem pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah. Beberapa gatra penting budidaya lorong yang bersifat multiguna adalah:

  1. Mencegah terjadinya kerusakan tanah akibat erosi permukaan (gatra konservasi).
  2. Mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah (gatra kesuburan).
  3. Tanaman pagar (legum) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau, makanan ternak, sayuran, pematah angin, dan penyediaan kayu bakar (gatra multiguna tanaman pagar).
  4. Meningkatkan produktivitas tanah.

Menurut  Kasiran (2008) , budidaya lorong adalah budidaya tanaman utama khususnya tanaman pangan yang ditanam diantara pagar tanaman pagar. Tanaman pagar ditanam mengikuti garis kontur sehingga membentuk lorong. Tanaman pagar ini berfungsi sebagai penahan erosi dan sekaligus juga berfungsi sebagai pupuk hijau. Sebagai pupuk hijau, tanaman pagar ini secara dipangkas  secara periodek agar tanaman utama tidak ternaungi dan pada saat bersamaan menambahkan bahan organik ke tanaman.

Pada penelitiannya Kasiran tahun 2008, Kasiran mengunakan tanah Podsolik Merah Kuning dengan kondisi tingkat kesuburan tanah rendah,  pH tanah tanah asam (ph 4.00-4.70), miskin akan unsur hara (Kalium, Kalsium, Magnesium, dan Natrium), Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah, kejenuhan aluminium (Al) yang tinggi. Namun setelah ditepakannya sistem budidaya lorong hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi perbaikan sifat tanah pada lahan dimana terjadi kecendrungan perbaikan sifat kimia tanah yang ditandai dengan peningkatan pH tanah, ketersediaan unsur-unsur hara tanah; K, Na, Ca, Mg dan KTK Tanah. Kemudian adanya kecendrungan menurunnya ketersediaan unsur Al, dmn konsentrasi Al pada tingkat konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan keracunan pada tanaman. Menurunnya ketersedian Al ini dikarenakan terbentuknya khelat sebagai akibat dari adanya penambahan bahan organik. Sehingga dapat dilihat bahwa sistem budidaya konservasi dengan penanaman tanaman lorong atau juga yang disebut dengan alley cropping mampu meningkatkan  kualitas lahan dan diharapkan juga nantinya dapat meningkatkan produktivitas tanah tersebut.

Sistem budidaya konservasi lainnya dalah dengan pergiliran tanaman. Sistem ini banyak diterapkan di Indonesia. Beberapa tanaman ditanam berurutan yang satu setelah yang lainnya ditempat yang sama. Pola tanam dapat berubah dari tahun ke tahun tetapi tujuannnya sama yaitu untuk memperoleh kondisi tanah yang secara fisik baik. Setiap tanaman akan menyerap hara yang berbeda dari lahan tempat tumbuhnya. Sebaliknya masing-masing jenis tanaman akan meninggalkan sisa-sisa tanaman atau pengaruh dari pola tanam tersebut. Suatu pola dari pergiliran tanaman yang baik akan mempertimbangkan sifat dari masing-masing tanaman apa yang diserap dan apa yang diberikan sehingga hasil akhirnya adalah keadaan tanah yang lebih baik (Dewi Lukitaningsih, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yohanes Leki Seran, Medo Kote, dan Paskalis Th. Fernandes, tahun 2007, penelitian dilakukan dengan penanaman tanaman legum-herba, kemudian dilanjutkan dengan penanaman jagung jagung. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah Nitrogen pada tanah bekas penanaman legum-herba, kondisi ditunjukan dengan adanya peningkatan tanaman jagung yang ditanam setelah penanaman legum-herba. Peningkatan produktivitas jagung tersebut setara dengan pada waktu jagung yang diaplikasikan pupuk kimia berimbang.  Secara ekonomi petani tidak lagi mengeluarkan uang tunai untuk membeli pupuk kimia dan dapat menekan biaya produksi. Hal ini disebabkan tanaman legum-herba merupakan sumber penyedia unsur hara melalui proses pengikatan nitorogen oleh bintil akar. Selain itu biomass yang jatuh ke tanah merupakan bahan organik yang turut memperkaya unsur hara dalam tanah. Ketersedian unsur hara yang di sumbangkan oleh tanaman legum herba sangat berperan dalam proses pertumbuhan tanaman pasca penanaman tanaman legum herba.

Sistem budidaya konservasi berikutnya yang dapat diterapkan adalah Penanaman mengikuti garis kontur, sistem ini dilakukan pada lahan miring. Dimana hal tersebut dilakukan untuk mengurangi erosi dan aliran permukaan tanah. Garis kontur merupakan garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang sama dan berpotongan tegak lurus dengan arah kemiringan lahan ( Fahmudin Agus dan Widianto, 2004).  Sistem pertanian yang  senada dengan budidaya lorong adalah pertanian sejajar kontur tetapi dalam prakteknya lebih banyak dilaksanakan di lahan miring yang bertujuan untuk mencegah terjadinya erosi. Dalam, penerapannya dilengkapi dengan pembuatan saluran kontur, saluran pengendali aliran, perangkap sedimen, cekdam dan bangunan konservasi lainnya. Sistem pertanian ini merupakan salah satu model SALT (Sloping Agriculture Land Technology), yaitu mengubah lahan miring yang tak produktif menjadi produktif. Teknik ini memberikan kesempatan pada petani untuk meningkatkan kesuburan tanah, konservasi tanah dan air, menekan pertumbuhan hama dan penyakit, menekan ketergantungan pada masukan dari luar usaha tani. Dengan teknologi SALT diharapkan petani dapat meningkpendapatan melalui tanaman semusim/tanaman keras (Nurhayati, dkk, 2008).

Sistem konservasi lainnya adalah sistem bera, yaitu merupakan suatu usaha meningkatkan kesuburan tanah yang telah diolah cukup lama yaitu dengan membiarkan lahan tidak ditanami untuk beberapa waktu. Dalam pelaksanaannya petani membagi lahan menjadi dua bagian satu bagian yang dibera kan dan bagian lainnya ditanami untuk memenuhi kebtuhan keluarga. Pada saat persiapan bera petani biasanya membiarkan vegetasi jenis-jenis tertentu untuk tetap tumbuh. Setelah diberakan beberapa tahun kemudian tanah akan menjadi subur kembali. Pemberaan alami biasanya berlangsung dari 5-15 tahun yaitu dengan ditandai dengan lebatnya tanaman yang menutupinya. Pada masa bera ini lahan tidak memberikan manfaat dan tentunya tidak dapat memproduksi apapun karena harus dalam masa pemulihan untuk menjadi sedia kala. Dengan adanya masa bera ini tentunya dapat menurunkan keanekaragaman tanah seperti unsur hara yang ada didalamnya hilang ssehingga akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan pastinya akan berdampak pada produktivitas tanah. Lahan seperti ini tentunya harus ada pengatasan untuk memulihkannya kembali seperti sedia kala (Khoirul, 2013)

KESIMPULAN

Untuk menekan laju pembukaan lahan baru oleh petani di sekitar kawasan hutan atau kawasan pelestarian maka para petani sekitar kawasan hutan khususnya zona penyangga perlu menerapkan sistem budidaya yang konservatif. Beberapa sistem budidaya konservasi tersebut antara lain adalah : sistem budidaya lorong, sistem pergiliran tanaman, penanaman mengikuti garis kontur dan sistem bera.  Dengan diterapkannya sistem budidaya konservasi tersebut diharapkan kebutuhan masyarakat sekitar kawasan pelestarian atau yang hidup di kawasan zona penyanggadapat terpenuhi dan kondisi tanah masih tetap terjaga sehingga keberlangsungan juga tetap terjaga.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Kehadirat Allah yang Maha Kuasa atas berkat rahmad dan karuniaNya semata penulisan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada :

  1. Rekan-rekan Pegawai Bidang Produksi dan Pengembangan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rejang Lebong.
  2. Rekan-rekan Kuliah di Program Pasca sarjana PSDAL Universitas Bengkulu Angkatan 16.
  3. Ucapan terima kasih yang tulus juga untuk suami dan anak atas semangat dan dorongannya sehingga makalh ini bisa terlesaikan.

Semoga Allah memberikan berkah dan rahmadnya yang berlimpah kepada semua yang telah membantu dalam penulisan ini dan semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

382. (n.d.). Retrieved November 2, 2015, from http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/view/552/382

article.php. (n.d.). Retrieved from http://download.portalgaruda.org/article.php?article=184733&val=6406&title=Alternatif%20Model%20Usahatani%20Konservasi%20Tanaman%20Sayuran%20di%20Hulu%20Sub-DAS%20Cikapundung

Dewi Lukita Ningsih. 2009. Pergiliran Tanaman. 

Dwi Putro Sugiharto, 2012, Pengertian Taman Nasional, Kriteria Penetapan, Zonasi, dan Pemanfaatan.

File.pdf. (n.d.). Retrieved from http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-100539.pdf

Fahmuddin Agus dan Widianto (2004). Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Bogor: WORLD AGROFORESTRY CENTRE ICRAF Southeast Asia. Hal 42 – 44

Harimau Sumatera TNKS Tersisa 50 Ekor. (n.d.). Retrieved November 2, 2015, from http://www.sinarharapan.co/news/read/140812053/harimau-sumatera-tnks-tersisa-50-ekor

Listyarini, dkk. 2011. Optimalisasi Fungsi Daerah Penyangga Kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo (Studi Kasus : Desa Sumber Brantas Kota Batu).

I Gede Bayu Tika, 2011, Zonasi Taman Nasional.

Microsoft Word – daftar isi PO.doc – E-BOOK-PERTANIAN-ORGANIK.pdf. (n.d.).

Microsoft Word – MONOGRAF-KONSERVASI.doc – monografkonservasi001.pdf. (n.d.). Retrieved from http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/serial/monograf1/monografkonservasi001.pdf

M. Bismark dan Endang Karlina, 2011, Pengembangan dan pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional sebagai Pengelolaan Kawasan  Konservasi Berkelanjutan.

Meilinda Suriani. 2011. Pemanfaatan Kawasan Penyangga (Buffer Zone) Taman Nasional Gunung Leuser berbasis Masyarakt Partisipatif  di Kabupaten Gayo Lues.

Pertanian organik: menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. (2002). Kanisius.

Retrieved from http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/files/2013/10/E-BOOK-PERTANIAN-ORGANIK.pdf

Sasmadi.2012. Kajian karakterisitik dan Dampak Lingkungan Kegiatan Pentani Sekitar Hutan.|
Khoirul. 2013. Masa Bera

Wiratno. 1994. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Menuju Pengelolaan sebagai Biosphere Reserve. Majalah Kehutanan Indonesia. No 12 Tahun 1993/1994. Hal 3 – 7.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *