
DAMPAK CEKAMAN PANAS TERHADAP FISIOLOGIS SAPI BALI (THE IMPACT OF HEAT STRESS ON THE PHYSIOLOGY OF BALI CATTLE)
By: Nur Jamiah Rangkuti
Abstract
Each livestock species has a physiological comfort zone, if the ambient temperature increases and causes an additional excessive heat load for livestock, livestock will try to maintain their body heat balance by making changes in behavior, patterns of feed and water consumption and certain physiological changes. The environment has a greater proportion of livestock genetic influences. namely 60% by environmental factors and 40% by genetic factors. Good environmental management must be implemented to produce productivity as expected. This writing aims to provide information about the impact of heat stress on the physiology of livestock and the negative consequences that may arise as well as treatments to minimize these impacts including respiratory frequency, pulse, and body temperature. The method used is through measuring physiological status in the morning, afternoon and evening using descriptive methods and direct observation with data processing and analysis and tabulation. The average respiration frequency of female Bali cattle in the morning is 21.1 times per minute, during the day is 24.3 times per minute and in the afternoon is 24.5 times per minute. The average body temperature of female Bali cattle in the morning is 37.4 ºC, during the day is 38.1 ºC and in the afternoon is 38.2 ºC. The average pulse rate for Bali cattle in the morning is 60.3 beats per minute, during the day is 65.2 beats per minute while in the afternoon it is 63.7 beats per minute. The physiological status of Bali cattle, namely respiratory frequency, body temperature, and pulse, were in normal conditions. Environmental temperature conditions exceed the normal threshold and rumination in cattle is very high, this condition does not cause health problems.
Keywords: heat stress, Bali cattle, physiology
Abstrak
Setiap spesies ternak memiliki suatu zona nyaman fisiologis, bila suhu lingkungan meningkat dan menyebabkan tambahan beban panas yang berlebihan bagi ternak maka ternak akan berusaha mempertahankan keseimbangan panas tubuhnya dengan melakukan perubahan-perubahan tingkah laku, pola konsumsi pakan dan air serta perubahan fisiologis tertentu. Lingkungan mempunyai proporsi yang lebih besar dari pengaruh genetik ternak. yaitu 60% oleh faktor lingkungan dan 40% faktor genetik. Manajemen lingkungan yang baik harus dapat diterapkan untuk menghasilkan produktivitas sesuai harapan. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang dampak cekaman panas terhadap fisiologis ternak dan akibat negatif yang mungkin ditimbulkan serta penanganan untuk meminimalisir dampak tersebut meliputi frekuensi pernapasan, denyut nadi, dan suhu tubuh. Metode yang digunakan melalui pengukuran status fisiologis pada pagi, siang, dan sore hari menggunakan metode deskriptif dan pengamatan secara langsung dengan pengolahan data dianalisis dan tabulasi. Rata-rata frekuensi respirasi ternak sapi Bali betina pada pagi hari yaitu 21,1 kali per menit, pada siang hari yaitu 24,3 kali per menit dan pada sore hari yaitu 24,5 kali per menit. Rata-rata suhu tubuh ternak sapi Bali betina pada pagi hari yaitu 37,4 ºC, pada siang hari yaitu 38,1 ºC dan pada sore yaitu 38,2 ºC . Rata-rata denyut nadi sapi Bali, pada pagi hari yaitu 60,3 kali per menit, pada siang hari yaitu 65,2 kali per menit sedangkan pada sore hari yaitu 63,7 kali per menit. Status fisiologis ternak sapi Bali yaitu frekuensi pernafasan, suhu tubuh, dan denyut nadi berada pada kondisi normal. Kondisi suhu lingkungan melebihi batas ambang normal dan ruminasi pada sapi sangat tinggi kondisi ini tidak menimbulkan gangguan kesehatan.
Kata kunci: cekaman panas, Sapi Bali, fisiologis
Pendahuluan
Sapi Bali merupakan sapi potong lokal khas Indonesia yang sudah dijinakkan berabad-abad tahun yang lalu. Selain pakan dan manajemen pemeliharaan, faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sapi Bali adalah kondisi lingkungan yang nyaman (comfort zone) dengan batas maksimum dan minimum temperatur serta kelembaban lingkungan pada thermo neutral zone agar berproduksi secara optimal.
Setiap spesies ternak memiliki suatu zona nyaman fisiologis, yaitu keadaan dimana pelepasan energi berada pada tingkat minimal, konstan dan bebas dari pengaruh suhu lingkungan. Bila suhu lingkungan meningkat dan menyebabkan tambahan beban panas yang berlebihan bagi ternak maka ternak akan berusaha mempertahankan keseimbangan panas tubuhnya dengan melakukan perubahan-perubahan tingkah laku, pola konsumsi pakan dan air serta perubahan fisiologis tertentu. Heat tolerance adalah ketahanan ternak terhadap panas yang di sekitarnya. Kondisi lingkungan ekstrim akibat tingginya temperatur, radiasi matahari, kelembaban dan rendahnya kecepatan angin dapat menyebabkan heat stress pada ternak.
Heat stress akan menjadi masalah utama dalam pemeliharaan ternak termasuk sapi Bali. Ternak yang tercekam panas akan direfleksikan pada respon suhu tubuh dan frekuensi pernafasan (Monstma, 1984). Kondisi ini membuat ternak mengalami gangguan fungsi fisiologi dan penurunan imunitas (Brown et al., 2005). Selain itu, peningkatan temperatur tubuh juga disebabkan oleh suhu lingkungan (Rahardja, 2010). Lingkungan mempunyai proporsi yang lebih besar dari pengaruh genetik ternak. Penampilan produksi dan reproduksi dipengaruhi 60% oleh faktor lingkungan dan 40% faktor genetik (Kadarsih, 2003).
Manajemen lingkungan yang baik harus dapat diterapkan untuk menghasilkan produktivitas sesuai harapan. Hal ini dapat dilakukan melalui pengendalian manajemen lingkungan mikroklimat dalam kandang. Menurut Payne (1990) penampilan produktivitas ternak dipengaruhi oleh lingkungan terutama suhu lingkungan, kelembaban dan radiasi matahari. Pengaruh langsung pada ternak dapat menimbulkan stres panas atau dingin, sehingga menimbulkan kondisi tidak nyaman. Manajemen pengendalian lingkungan mikroklimat ternak perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan ternak sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang optimal.
Cekaman panas secara konsisten menyebabkan penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air. Di samping itu, cekaman panas juga berdampak pada fisiologi ternak baik melalui pengaruh langsungnya maupun pengaruh tidak langsung sebagai akibat dari penurunan konsumsi pakan. Pada daerah dataran rendah tropis persoalan cekaman panas mendominasi dalam problem lingkungan. Pada kondisi cekaman cekaman panas dan cekaman dingin dikatakan ternak mengalami stress fisiologi (Yousef, 1984).
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merangkum dari peran cekaman panas terhadap fisiologis ternak ruminansia dan akibat negatif yang mungkin ditimbulkan serta penanganan untuk meminimalisir dampak tersebut meliputi frekuensi pernapasan, denyut nadi, dan suhu tubuh.
Penulisan ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang dampak cekaman panas terhadap fisiologis ternak.
Indonesia sebagai Daerah Tropis
Indonesia adalah negara dengan iklim tropis yang cenderung memiliki suhu hangat atau panas dan kelembaban yang tinggi. Kondisi udara yang panas dapat mengakibatkan sapi menjadi stres, bahkan pada kondisi cuaca yang sangat panas bisa mengakibatkan kematian pada ternak. Kondisi cuaca yang dingin dan basah juga bisa menyebabkan stres pada sapi, suhu digin yang berkepanjangan dapat mengakibatkan sapi mengalami pneumonia dan rentan terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dan kondisi stres.
Suhu mencerminkan energi kenetik rata-rata dari gerakan molekul-molekul seperti pada udara. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air. Penelitian terhadap pengaruh dari cekaman panas pada ternak memperlihatkan bahwa suhu kandang pada pagi hari memiliki rata-rata 28,0 ºC dengan kelembaban 79,4%, pada siang hari suhu kandang berada pada rata-rata 33,8 ºC dengan kelembaban 58,7% dan pada sore hari suhu kandang 30,0 ºC dengan kelembaban 73,6% (Amiano et al., 2018). Suhu kandang cenderung meningkat pada siang hari dan begitu juga dengan kelembaban cenderung menurun pada siang hari karena rendahnya kelembaban berpengaruh terhadap faktor pembentuk iklim utama, seperti suhu udara, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Tjasyono, 2004).
Frekuensi Respirasi Sapi Bali
Rata-rata frekuensi respirasi ternak sapi Bali betina pada pagi hari yaitu 21,1 kali per menit, pada siang hari yaitu 24,3 kali per menit dan pada sore hari yaitu 24,5 kali per menit (Amiano et al., 2018). Faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap ternak adalah suhu dan kelembaban (Serang et al., 2016). Frekuensi pernapasan berada pada ambang normal karena berada pada kisaran antara 15-35 kali/menit (Jackson dan Cockroft, 2002).
Suhu Tubuh Sapi Bali
Rata-rata suhu tubuh ternak sapi Bali betina pada pagi hari yaitu 37,4 ºC, pada siang hari yaitu 38,1 ºC dan pada sore yaitu 38,2 ºC (Amiano et al., 2018). Suhu tubuh cenderung meningkat karena dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minum, dan pencernaan (Saiya, 2012). Ternak meningkatkan frekuensi respirasi untuk mempertahankan keseimbangan suhu tubuh saat udara di kandang meningkat.
Denyut Nadi Sapi Bali
Rata-rata denyut nadi sapi Bali, pada pagi hari yaitu 60,3 kali per menit, pada siang hari yaitu 65,2 kali per menit sedangkan pada sore hari yaitu 63,7 kali per menit (Amiano et al., 2018). Denyut nadi normal pada sapi potong berkisar antara 36-80 kali/menit (Isroli, 2015). Denyut nadi menunjunkkan tingkat stres pada sapi, semakin cepat denyut nadi ternak maka semakin tinggi juga tingkat stres yang dimiliki ternak tersebut.
Status fisiologis ternak sapi Bali yaitu frekuensi pernafasan, suhu tubuh, dan denyut nadi berada pada kondisi normal. Kondisi suhu lingkungan melebihi batas ambang normal dan ruminasi pada sapi sangat tinggi kondisi ini tidak menimbulkan gangguan kesehatan.
Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar. Kondisi stress panas dapat dicegah dengan pemberian peneduh pada area kandang ternak, penyediaan akses air minum untuk ternak, dan penyemburan air dengan sprayer sehingga dapat mengurangi panasnya udara. Mencegah stress panas di padang rumput dapat dilakukan dengan menanam tanaman pelindung sehingga dapat digunakan ternak sebagian tempat berteduh (OIE, 2012).
Kesimpulan
Suhu lingkungan dapat menyebabkan berbagai macam perubahan reaksi fisiologis pada ternak yaitu meningkatnya suhu tubuh, frekuensi pernapasan, dan denyut nadi yang semakin cepat.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Urip Santoso, M. Sc selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah penyajian dan penulisan jurnal ilmiah dan kepada pedoman penulis sebagai referensi dalam memenuhi tugas kuliah.
Daftar Pustaka
Amiano, K., B. Satata, dan R. Imanuel. (2018). Status Fisiologis Ternak Sapi Bali (Bos Sondaicus) Betina yang Dipelihara pada Lahan Gambut. JurnalAgribisnis Peternakan. 19(2).
Brown Brandl T.M., R.A. Eigenberg, J. A. Nienaber, G. L. Hahn. 2005. Dynamic Response Indicators Of Heat Stress Inshaded and Non Shaded Feedlot Cattlepart 1: Analyses of Indicators. Biosystems Engineering. 90(4) : 451-62.
Isroli, M. P. 2015. Pengembangan Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. hlm 591-595.
Jackson, P.G dan P. D. Cockroft. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. University of Cambridge,UK.
Kadarsih S. 2003. Peranan Ukuran Tubuh terhadap Bobot Badan Sapi Bali Di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB. Vol 9 (1). 45-48.
Monstma G. 1984. Tropical Animal Production I (Climats and Housing). T20 D ecture Notes E400-103.
Office International Des Epizootica (OIE). 2012. Animal Welfare and Beef Cattle Production Systems, Chapter 7.9. Pp.1-13.
Payne W.J.A. 1990. An Introduction of Animal Husbandry in The Tropics. 4thed.Tropical Agriculture Series. Longman Scientificand Technical. Copublish in the United States with Jihn Wiley & Sons, Inc. New York.
Rahardja D.P. 2010. Ilmu Lingkungan Ternak. Makassar (ID) : UNHAS.
Saiya H.V. 2012. Aklimatisasi Sapi PO dan Sapi Bali Merespon Perubahan Cuaca di Kabupaten Merauke Papua [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Serang, P.M., I. N. Suartha, I.P.G.Y. Arjentinia. 2016. Frekuensi Respirasi Sapi Bali Betina Dewasa di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. BVU. 8(1) : 25-29.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID). ITB.